JUGUN IANFU, begitulah istilah yang mau tidak mau menyelubungi mereka. Di beberapa tempat, masyarakat lebih akrab dengan sebutan bekas Jepang.
Meski telah lama berlalu, predikat itu tak dapat menghilangkan kepedihan mereka. "Stigma itu masih mengganggu mereka. Ada perasaan malu dan takut kepada lingkungan hingga saat ini," ujar Janssen.
Janssen, wartawan sebuah media massa di Belanda, dan fotografer Jan Banning memotret puluhan JUGUN IANFU di beberapa tempat di Indonesia dan menuliskan kisah-kisah mereka. Sebanyak 18 di antaranya ditampilkan dalam sebuah pameran foto tentang JUGUN IANFU di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta.
Janssen, wartawan sebuah media massa di Belanda, dan fotografer Jan Banning memotret puluhan JUGUN IANFU di beberapa tempat di Indonesia dan menuliskan kisah-kisah mereka. Sebanyak 18 di antaranya ditampilkan dalam sebuah pameran foto tentang JUGUN IANFU di Erasmus Huis, Kuningan, Jakarta.
Seperti diketahui, saat penjajahan Jepang di Indonesia, tentara Jepang mengelola wanita penghibur dan menjadikannya sebuah sistem yang ditata rapi. Alasannya sangat pragmatis. Seks dikontrol sedemikian rupa untuk menghindari perkosaan dan terjangkitnya penyakit menular. Maka dibuatlah rumah-rumah bordil militer. Tujuannya adalah merangsang semangat para serdadu militer.
Beberapa rumah bordil dikelola oleh militer. Ada juga yang dikelola swasta, tapi tetap berada di bawah pengawasan militer.
Beberapa rumah bordil dikelola oleh militer. Ada juga yang dikelola swasta, tapi tetap berada di bawah pengawasan militer.
Mereka mewajibkan serdadu-serdadu itu memakai kondom untuk menghindari penyakit kelamin yang pernah terjadi pada perang sebelumnya di Siberia dan Manchuria pada 1920-an. Dan para wanita penghibur itu memperoleh pemeriksaan medis rutin.
Seperti kisah Wainem, nenek kelahiran Karang Anyar, Jawa Tengah, pada 1925. Ia diambil dari rumahnya dan dipaksa melakukan prostitusi. Satu tahun pertama di Solo dan dua tahun kemudian di Yogyakarta.
Seperti kisah Wainem, nenek kelahiran Karang Anyar, Jawa Tengah, pada 1925. Ia diambil dari rumahnya dan dipaksa melakukan prostitusi. Satu tahun pertama di Solo dan dua tahun kemudian di Yogyakarta.
Malam harinya, ia harus melayani berahi serdadu Jepang itu. "Tiap minggu, diperiksa perut kami oleh dokter Jawa yang diawasi dokter Jepang. Apakah kami hamil atau tidak. Saya belum pernah hamil waktu itu," kata Wainem, seperti ditulis Janssen.
Ketika perempuan-perempuan itu tiba di rumah bordil, mereka dipotret dan diberi nama Jepang. Lalu ditempatkan di kamar masing-masing. Serdadu Jepang harus membeli tiket di kantor depan kemudian memilih salah satu wanita yang ada di kumpulan foto itu.
Emah, misalnya, mendapat nama Jepang, Miyoko. Perempuan kelahiran Kuningan, Jawa Barat, pada 1926 ini harus melayani sedikitnya sepuluh lelaki setiap hari, baik serdadu biasa maupun perwira. "Saya dipilih terus. Setelah yang satu pulang, ada yang datang lagi. Waktu itu saya sangat ingin kelihatan jelek, karena yang terlihat jelek langsung dipulangkan. Tetapi yang cantik-cantik harus tinggal," tutur Emah kepada Janssen. Ia tampak menyesali kecantikannya. Sampai saat ini ia tetap mencari nafkah menjadi pemijat tradisional.
Banyak di antara perempuan-perempuan itu diambil paksa, diculik, lalu diancam. Atau mereka diberi janji-janji palsu, bahkan mereka bisa dipanggil melalui kepala desa. Tak jarang, para serdadu Jepang itu menjarah kampung-kampung dan mengambil gadis-gadis di bawah umur.
Ronasih, misalnya, saat masih gadis berumur 13 tahun, ia diculik oleh serdadu Jepang yang sering dipanggil Si Bewok. Nenek kelahiran 1931 asal Serang, Banten, ini disekap di dalam barak dekat desanya. Di sana ia diperkosa secara sistematis oleh Bewok dan teman-temannya. Ayahnya beberapa kali menawarkan diri menjadi pekerja paksa untuk mengganti putrinya. Tapi tak berhasil.
Ya, petaka itu telah lama berlalu. Namun stigma buruk sebagai bekas Jepang masih melekat erat dalam memori perempuan-perempuan sepuh itu. Penghinaan, perkawinan yang gagal, hingga ketiadaan keturunan harus mereka terima apa pun keadaannya. Luka dan penderitaan yang tak tertanggungkan itu tetap saja terbawa sepanjang kehidupan mereka.
Tentu mereka tak ingin kekerasan seksual semacam itu terulang kepada anak cucu. "Perempuan-perempuan ini setidaknya telah memecah kebisuan, mendulang kekuatan mengatasi rasa malu mereka, agar sejarah mereka terekam," ujar Janssen.
Ketika perempuan-perempuan itu tiba di rumah bordil, mereka dipotret dan diberi nama Jepang. Lalu ditempatkan di kamar masing-masing. Serdadu Jepang harus membeli tiket di kantor depan kemudian memilih salah satu wanita yang ada di kumpulan foto itu.
Emah, misalnya, mendapat nama Jepang, Miyoko. Perempuan kelahiran Kuningan, Jawa Barat, pada 1926 ini harus melayani sedikitnya sepuluh lelaki setiap hari, baik serdadu biasa maupun perwira. "Saya dipilih terus. Setelah yang satu pulang, ada yang datang lagi. Waktu itu saya sangat ingin kelihatan jelek, karena yang terlihat jelek langsung dipulangkan. Tetapi yang cantik-cantik harus tinggal," tutur Emah kepada Janssen. Ia tampak menyesali kecantikannya. Sampai saat ini ia tetap mencari nafkah menjadi pemijat tradisional.
Banyak di antara perempuan-perempuan itu diambil paksa, diculik, lalu diancam. Atau mereka diberi janji-janji palsu, bahkan mereka bisa dipanggil melalui kepala desa. Tak jarang, para serdadu Jepang itu menjarah kampung-kampung dan mengambil gadis-gadis di bawah umur.
Ronasih, misalnya, saat masih gadis berumur 13 tahun, ia diculik oleh serdadu Jepang yang sering dipanggil Si Bewok. Nenek kelahiran 1931 asal Serang, Banten, ini disekap di dalam barak dekat desanya. Di sana ia diperkosa secara sistematis oleh Bewok dan teman-temannya. Ayahnya beberapa kali menawarkan diri menjadi pekerja paksa untuk mengganti putrinya. Tapi tak berhasil.
Ya, petaka itu telah lama berlalu. Namun stigma buruk sebagai bekas Jepang masih melekat erat dalam memori perempuan-perempuan sepuh itu. Penghinaan, perkawinan yang gagal, hingga ketiadaan keturunan harus mereka terima apa pun keadaannya. Luka dan penderitaan yang tak tertanggungkan itu tetap saja terbawa sepanjang kehidupan mereka.
Tentu mereka tak ingin kekerasan seksual semacam itu terulang kepada anak cucu. "Perempuan-perempuan ini setidaknya telah memecah kebisuan, mendulang kekuatan mengatasi rasa malu mereka, agar sejarah mereka terekam," ujar Janssen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar