Selasa, 24 Mei 2016

Kecantikan yang Membawa Petaka

Kecantikan yang Membawa Petaka  
Sisa-sisa kecantikan masih melekat meski keriput menyelimuti wajah sepuhnya. Mereka adalah wanita-wanita mempesona pada zamannya. Karena kecantikannya, pada zaman penjajahan Jepang dulu, mereka dipaksa menjadi wanita penghibur bagi serdadu-serdadu Jepang itu.

JUGUN IANFU, begitulah istilah yang mau tidak mau menyelubungi mereka. Di beberapa tempat, masyarakat lebih akrab dengan sebutan bekas Jepang.
Malam harinya, ia harus melayani berahi serdadu Jepang itu. "Tiap minggu, diperiksa perut kami oleh dokter Jawa yang diawasi dokter Jepang. Apakah kami hamil atau tidak. Saya belum pernah hamil waktu itu," kata Wainem, seperti ditulis Janssen.

Ketika perempuan-perempuan itu tiba di rumah bordil, mereka dipotret dan diberi nama Jepang. Lalu ditempatkan di kamar masing-masing. Serdadu Jepang harus membeli tiket di kantor depan kemudian memilih salah satu wanita yang ada di kumpulan foto itu.
Emah, misalnya, mendapat nama Jepang, Miyoko. Perempuan kelahiran Kuningan, Jawa Barat, pada 1926 ini harus melayani sedikitnya sepuluh lelaki setiap hari, baik serdadu biasa maupun perwira. "Saya dipilih terus. Setelah yang satu pulang, ada yang datang lagi. Waktu itu saya sangat ingin kelihatan jelek, karena yang terlihat jelek langsung dipulangkan. Tetapi yang cantik-cantik harus tinggal," tutur Emah kepada Janssen. Ia tampak menyesali kecantikannya. Sampai saat ini ia tetap mencari nafkah menjadi pemijat tradisional.

Banyak di antara perempuan-perempuan itu diambil paksa, diculik, lalu diancam. Atau mereka diberi janji-janji palsu, bahkan mereka bisa dipanggil melalui kepala desa. Tak jarang, para serdadu Jepang itu menjarah kampung-kampung dan mengambil gadis-gadis di bawah umur.

Ronasih, misalnya, saat masih gadis berumur 13 tahun, ia diculik oleh serdadu Jepang yang sering dipanggil Si Bewok. Nenek kelahiran 1931 asal Serang, Banten, ini disekap di dalam barak dekat desanya. Di sana ia diperkosa secara sistematis oleh Bewok dan teman-temannya. Ayahnya beberapa kali menawarkan diri menjadi pekerja paksa untuk mengganti putrinya. Tapi tak berhasil.
Ya, petaka itu telah lama berlalu. Namun stigma buruk sebagai bekas Jepang masih melekat erat dalam memori perempuan-perempuan sepuh itu. Penghinaan, perkawinan yang gagal, hingga ketiadaan keturunan harus mereka terima apa pun keadaannya. Luka dan penderitaan yang tak tertanggungkan itu tetap saja terbawa sepanjang kehidupan mereka.

Tentu mereka tak ingin kekerasan seksual semacam itu terulang kepada anak cucu. "Perempuan-perempuan ini setidaknya telah memecah kebisuan, mendulang kekuatan mengatasi rasa malu mereka, agar sejarah mereka terekam," ujar Janssen.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar