Kamis, 19 Mei 2016

Mengintip Sisi Gelap Jepang, Prostitusi Remaja di Akihabara

Distrik Akihabara selalu dipenuhi gadis-gadis remaja bayaran yang harus 'melayani' laki-laki.

Seorang pekerja sosial, Yumeno Nito mengatakan telah membantu 100 anak perempuan yang terjebak dalam kondisi JK. "Banyak anak sekolah yang terlibat dalam pelacuran atau perdagangan manusia. Sayangnya, tidak semua dari mereka yang mendapatkan penghasilan. Sebagian dari mereka bahkan bunuh diri dan lainnya disalahkan karena menjual diri," katanya.
Remaja Jepang di kenal dengan remaja yang memiliki kemampuan lebih di bidang akademis, walaupun demikian tidak menutup kemungkinan bahwa remaja putri di Jepang terjerumus ke dalam industri seks. Mereka juga merupakan remaja yang masih sangat menginginkan kesenangan lebih. Menurut Takaori (1997) fakta yang tergambar jelas akan industri seks anak muda Jepang adalah pelacuran remaja putri yang dikenal dengan istilah Enjo Kosai. Enjo Kosai yang merebak di kota-kota besar Jepang seperti memberikan tamparan bagi masyarakat Jepang. Enjo Kosai yang belakangan ini sudah beralih dari arti harfiahnya yaitu bergaul dengan mendapat bantuan (keuangan), menjadi suatu fenomena pelacuran yang dilakukan murid-murid SMA. Sebagai imbalan kencan, anak-anak ini menerima uang yang sifatnya sebagai “bantuan” uang saku mereka.


Dalam bahasa Inggris Enjo Kosai berarti “compensated dating“. Itulah fenomena sosial yang sudah lama merebak di Negeri Matahari Terbit ini. Banyak ditengarai juga di negara-negara lain, dengan istilah yang berbeda namun memiliki arti yang sama.Enjo Kosai merupakan aktivitas di mana gadis-gadis belia dengan rela menemani lelaki, termasuk mereka yang tak lagi muda dan bahkan usianya sama dengan orangtua mereka, dengan imbalan makan di restoran mewah, diajak jalan-jalan di tempat yang menarik dan belanja barang-barang yang mereka sukai.

Dari penelitian yang dilakukan oleh Pemerintahan Tokyo tahun 1996 terungkap bahwa 3,8 % siswi SMP dan 4,0% siswa SMA pernah melakukan Enjo Kosai. Dari penelitian itu juga terungkap 38,1% mereka melakukan itu agar bisa mendapatkan uang dan 52,4% dari mereka menyatakan bahwa uang itu dipakai untuk berbelanja. Padahal mereka berasal dari keluarga mampu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar